Detikpangan.com – PERJALANAN untuk menjadi seorang dokter boleh dikatakan amat melelahkan. Malam-malam yang panjang, hari-hari yang sepi, dan ujian yang melelahkan akan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan untuk menjadi seorang dokter.
Tak jarang memperoleh ujian tambahan, terkadang harus mengulang satu semester atau setahun penuh. Para staf pengajar tidak bisa memaafkan kekurangan yang amat mendasar dan tidak akan ragu untuk membiarkan calon dokter mengalami perpanjangan masa pendidikan jika melihat ada alasan kuat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih baik membiarkan mereka ‘menderita’ agar menjadi dokter yang handal, daripada membiarkan pasien menjadi korban karena kemampuan klinis yang tak sesuai standar. Para calon dokter dan dokter spesialis ditempa menjadi individu yang tangguh, dan penuh dengan pengetahuan serta ketrampilan klinis.
Di sebagian besar negara, mahasiswa fakultas kedokteran wajib lulus dengan nilai memuaskan sebagai sarjana kedokteran, kemudian melanjutkan pendidikan klinis selama 2 tahun sebagai dokter muda atau ko-asisten, disambung lagi dengan masa internship 1 hingga 2 tahun.
Diharapkan setelah itu para calon dokter memiliki standar kompetensi untuk melayani masyarakat. Jika ingin menjadi spesialis, masih harus menjalani pendidikan selama 3 ½ hingga 5 tahun tergantung jenis spesialisasinya, jika semua proses berjalan lancar.
Oleh karenanya, tak sedikit orang tua yang menginginkan anaknya mengambil pilihan profesi lain yang lebih cepat lulus dan tentunya bisa bekerja dengan lebih cepat.
Ada beberapa alasan mengapa menjadi dokter memerlukan waktu panjang, usaha keras, dan dedikasi:
1. Kompleksitas tubuh manusia: Kedokteran adalah bidang yang kompleks yang memerlukan pemahaman mendalam tentang anatomi, fisiologi, dan patologi.
2. Pertaruhan nyawa: Dokter tak jarang bertanggung jawab dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindakan disaat genting, sehingga mereka perlu dilatih secara komprehensif untuk memastikan keselamatan pasien. Hal tersebut tak bisa dibentuk dalam waktu singkat dengan sistem pelatihan atau kursus dalam hitungan bulan.
3. Evolusi yang konstan: Pengetahuan dan teknologi medis terus berkembang, sehingga dokter wajib mengikuti perkembangan terkini.
4. Pengalaman praktis: Kedokteran adalah profesi langsung yang memerlukan pengalaman klinis yang luas untuk mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menangani para pasien.
5. Pertimbangan etika: Dokter perlu memahami dan menerapkan prinsip-prinsip etika dalam praktik sehari hari.
Para mahasiswa kedokteran maupun peserta pendidikan dokter spesialis menjalani proses belajar secara bertahap, karena ada banyak hal yang harus dipelajari.
Selama ratusan tahun, kurikulum pendidikan kedokteran telah mengalami berbagai perbaikan. Mahasiswa kedokteran dipaparkan pengalaman klinis, dan kemudian dilakukan supervisi secara ketat untuk untuk memastikan mereka memperoleh keluasan keahlian yang dibutuhkan untuk mendukung ilmu yang mereka pelajari.
Pengetahuan diperoleh secara perlahan, dan ada hierarki dalam tim profesional untuk memastikan bahwa peserta didik junior menerima pengawasan dan dukungan yang cukup dari para seniornya.
Saya ingat ketika pertama kali harus menulis rencana penatalaksanaan untuk seorang pasien. Saya ingat bagaimana pertama kali saya memasukkan kanula intra vena tanpa pengawasan. Saya juga ingat ketika pertama kali menangani pasien henti jantung sebelum staf lain tiba, dan harus memulai upaya resusitasi.
Setiap pengalaman ini memiliki tingkat stres tinggi, dan semuanya merupakan pengalaman belajar yang tak ternilai. Pengalaman ini berulang namun dengan intensitas lebih tinggi, ketika saya menjalani pendidikan dokter spesialis.
Oleh karenanya, terdengar aneh ketika ada ide untuk mendelegasikan kompetensi spesialis tertentu ke dokter umum dengan cara melakukan pelatihan khusus agar mereka menjadi dokter ‘plus’. Kalau sekadar untuk hal yang bersifat non-invasif misalnya melakukan pemeriksaan USG, bedah minor dengan pembiusan lokal, tentu tidak menjadi masalah.
Ketika yang dilakukan adalah tindakan invasif atau bedah relatif besar dengan anastesi umum, ada adagium ‘jangan pernah mengatakan suatu kasus SEDERHANA’, karena apa yang tampak sederhana bisa berubah menjadi kompleks jika terjadi penyulit atau komplikasi.
Seorang dokter juga wajib dibekali strategi tindakan ‘bail-out’ jika ada penyulit, dan keputusan harus sangat cepat agar tidak berakhir fatal. Perlu waktu bertahun tahun untuk memiliki ketrampilan dan ‘sense of emergency’ pada peserta didik.
Mengalihkan kompetensi spesialis terkait tindakan bedah besar atau invasif kepada dokter umum bisa berpotensi mempertaruhkan keselamatan pasien di tangan yang bukan ahlinya. Dunia kedokteran bukan dunia montir yang bisa konsultasi ‘trouble shooting’ jika ada kendala dalam servis mesin mobil, tanpa disertai risiko mematikan.
Proses Pendidikan dokter spesialis yang ketat dan melalui tahapan sistematis, memastikan agar dokter mampu memberikan perawatan berkualitas tinggi kepada pasien karena mereka berhak untuk memperoleh penanganan terbaik.
Mengingat faktor-faktor ini, kecil kemungkinan akan ada jalan pintas untuk menjadi seorang dokter profesional yang bisa melakukan layanan Kesehatan berkualitas tinggi. Memproduksi dokter untuk sekadar memenuhi distribusi tanpa memperhatikan kualitas sesuai standar adalah mendegradasi mutu pelayanan Kesehatan dan bisa menjadi ancaman keselamatan pasien.(*)