Oleh : Muliadi Saleh (Direktur Eksekutif Lembaga SPASIAL)
Detikpangan.com – Makanan berbasis nabati gerakan yang sedang mengubah cara kita makan, berpikir, dan mencintai bumi.
Dulu, daging adalah simbol kemakmuran dan kekuatan. Tiap pesta meriah, tiap perayaan besar, selalu diwarnai dengan aroma panggangan dan lemak yang berdesir di lidah. Tapi kini, banyak orang mulai bertanya: berapa harga yang sebenarnya kita bayar untuk setiap potong daging ? Tidak hanya uang, tapi juga udara yang kian panas, hutan yang terbakar, air yang mengering, dan tubuh yang perlahan kehilangan keseimbangannya.
Pertanyaan-pertanyaan itu melahirkan generasi baru: para vegetarian, vegan, dan fleksitarian. Mereka tidak sekadar mengikuti tren, melainkan mencari keseimbangan antara kesehatan diri dan kelestarian bumi. Dalam keheningan pilihan mereka, tahu menggantikan tenderloin, tempe menyaingi burger, dan semangkuk sayur menjadi lambang kesadaran baru.
Gerakan ini tumbuh seiring kesadaran bahwa setiap suapan menyimpan jejak karbon. Di ladang, para petani pun mulai menanam dengan hati yang sama: bukan hanya untuk perut, tetapi juga untuk planet. Pertanian kini berbicara tentang regenerasi, bukan sekadar produksi.
Tentang bagaimana tanah tetap hidup, air tetap jernih, dan udara tetap bisa dihirup anak cucu kita. Bahan-bahan lokal — yang tumbuh di tanah sendiri, di bawah matahari yang sama — kini menjadi primadona. Konsep hyper-local ingredients menggugah banyak dapur: labu kuning dari kebun desa disulap menjadi sup vegan di restoran kota, daun kelor yang dulu dianggap makanan orang kampung kini berubah menjadi bubuk superfood berkelas dunia.
Tiba-tiba, menjadi lokal adalah cara paling global untuk bertahan. Karena di dalamnya ada cinta paling murni pada bumi — cinta yang tidak butuh jarak tempuh ribuan kilometer atau kemasan plastik berlapis-lapis.
Dan memang, kesadaran baru ini meluas hingga ke hal-hal sederhana. Di pasar, orang mulai membawa wadah sendiri. Di kafe, sedotan logam atau bambu menggantikan plastik. Di rumah, sisa sayur dikomposkan, bukan dibuang. Gerakan hijau di piring ternyata berkelindan dengan gerakan hijau di dapur dan sampah. Plastik sekali pakai kini menjadi simbol mentalitas lama — cepat pakai, cepat buang, cepat lupa.
Tapi bumi tidak pernah lupa. Plastik yang kita buang, entah ke sungai atau laut, akan kembali dalam bentuk mikroplastik di tubuh kita sendiri. Betapa ironis, tubuh manusia kini memakan sisa dari kebodohannya sendiri. Maka, makan dengan lebih sadar menjadi bentuk kasih paling nyata terhadap diri sendiri dan planet ini.
Perubahan iklim menambah lapisan baru dalam kisah ini. Musim yang tak menentu, cuaca yang melampaui logika, membuat manusia belajar menyesuaikan diri. Dari kota ke desa, lahir inovasi: kebun vertikal di balkon, hidroponik di atap gedung, urban farming di gang-gang sempit.
Semua menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan sekadar teori akademik, tapi tindakan sehari-hari. Menanam cabai di pot kecil, memanen kangkung dari ember, atau membuat pupuk cair dari sisa dapur — semua itu adalah bentuk kecil dari cinta besar kepada bumi. Dan barangkali, justru di situlah spiritualitas baru tumbuh: ketika kita tidak lagi memisahkan antara makan dan memelihara kehidupan.
Makan, sejatinya, bukan hanya urusan rasa. Ia adalah laku batin. Ketika seseorang memilih sayur bukan karena ingin langsing, melainkan karena ingin bumi tetap bernafas, maka di situ makan menjadi doa. Seperti kata Jalaluddin Rumi, “Apa pun yang kau masukkan ke tubuhmu akan menjadi bagian dari jiwamu.” Setiap potong tempe, setiap tetes minyak kelapa, setiap gigitan buah segar adalah bentuk kesadaran yang menumbuhkan cinta. Di piring itu, manusia dan alam berdamai. Tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah — hanya siklus kehidupan yang berjalan dengan lembut.
Mungkin, masa depan tidak sedang dibangun di ruang rapat atau laboratorium, melainkan di dapur-dapur kecil tempat generasi baru belajar memasak dengan hati. Dari sana, lahir etika baru dalam kehidupan: makan secukupnya, menghargai yang tumbuh di tanah sendiri, dan berbagi dengan sesama. Karena perubahan besar memang selalu dimulai dari hal yang kecil — dari satu sendok nasi, dari satu daun bayam, dari satu pilihan yang lebih hijau.
Kita tidak sedang menjalani diet, kita sedang menulis ulang hubungan manusia dengan bumi. Makanan berbasis nabati bukan sekadar tentang apa yang ada di atas piring, tapi tentang bagaimana kita memandang kehidupan itu sendiri. Dan barangkali, revolusi paling damai di abad ini justru terjadi di meja makan — saat cinta pada bumi dihidangkan dalam sepiring sayur hangat, dan rasa syukur menjadi bumbu paling murni yang pernah kita punya.
Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan