Oleh: Muliadi Saleh (Direktur Eksekutif Lembaga SPASIAL)
Detikpangan.com – Di podium Perserikatan Bangsa-Bangsa, dunia terdiam sejenak. Dari balik mimbar kehormatan itu, suara lantang Presiden Prabowo Subianto menggema menembus dinding diplomasi global:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Indonesia tidak hanya akan memberi makan rakyatnya sendiri. Indonesia akan memberi makan dunia.”
Kata-kata itu bukan sekadar retorika politik; ia adalah gema sejarah yang kembali bergulung dari sawah-sawah yang pernah membentuk peradaban Nusantara. Suara yang menyalakan bara di dada jutaan petani yang selama ini menunduk dalam lumpur, kini menegakkan kepala dengan kebanggaan baru: pertanian Indonesia bangkit.
Dan di balik pidato berapi-api itu, di ladang-ladang yang mulai menghijau, berdiri sosok yang telah lama memahami denyut tanah: Dr. Andi Amran Sulaiman, sang menteri yang bukan sekadar birokrat, tapi anak kandung pertanian itu sendiri. Ia bukan datang membawa teori, melainkan membawa pengalaman, keberpihakan, dan kerja nyata. Dalam tangannya, benih kedaulatan pangan kembali disemai, tumbuh, dan berbuah harapan.
Dari Lumbung Nusantara ke Lumbung Dunia
Indonesia, negeri zamrud khatulistiwa, telah lama menyimpan potensi yang luar biasa: tanah subur, air melimpah, matahari sepanjang tahun, dan petani yang tangguh. Namun sejarah juga mencatat betapa kita sempat kehilangan arah—terlalu lama menengok kota, lupa pada desa; terlalu sibuk mengimpor, lupa menanam; terlalu larut dalam pasar, lupa pada pangan.
Kini, babak baru itu dibuka. Dari Merauke hingga Aceh, dari lereng Merbabu hingga pesisir Bone, geliat kebangkitan pertanian terasa seperti simfoni kehidupan. Mesin-mesin modern berdenting berdampingan dengan suara cangkul yang setia, teknologi bertemu tradisi, dan semangat muda bersatu dengan kearifan tua.
Bukan lagi cerita sedih tentang sawah yang dijual untuk ruko atau padi yang kalah oleh beras impor. Ini adalah kisah baru—tentang petani yang kembali menjadi tuan di tanahnya sendiri. Tentang anak muda yang bangga menyebut dirinya petani milenial, tentang kampus pertanian yang kembali ramai, dan desa yang kini menjadi laboratorium masa depan.
Andi Amran Sulaiman: Dari Ladang Menuju Legenda
Keberhasilan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bukan sekadar soal data statistik atau angka-angka produksi. Ia adalah kisah tentang keberanian, tentang keberpihakan yang tidak bisa dipalsukan. Ia datang bukan sebagai tamu di dunia pertanian, tapi sebagai darah yang mengalir di dalamnya. Ia pernah menanam, pernah gagal, pernah bangkit—dan kini memimpin bangsa untuk menanam kembali harapan.
Amran berbicara dengan bahasa yang dimengerti petani, bukan sekadar bahasa kebijakan. Ia mendengar jeritan di sawah, bukan hanya laporan di meja rapat. Dari tangannya lahir program-program yang konkret: peningkatan produksi padi dan jagung, pemberdayaan petani, industrialisasi pertanian, hingga ekspor hasil bumi yang kini menembus pasar dunia.
Ia tidak hanya menanam pangan, tapi juga menanam harga diri bangsa.
Kedaulatan Pangan: Iman dan Amanah
Kedaulatan pangan bukan sekadar urusan ekonomi; ia adalah soal martabat. Sebuah bangsa yang bisa memberi makan rakyatnya sendiri adalah bangsa yang merdeka sesungguhnya. Dan saat ia mampu memberi makan bangsa lain, ia menjadi bangsa yang mulia.
Pangan bukan sekadar nasi di meja, melainkan simbol keberadaban. Setiap butir beras adalah doa yang tumbuh dari tanah, keringat, dan kasih sayang ibu pertiwi. Maka ketika Presiden Prabowo berbicara tentang memberi makan dunia, itu bukan ambisi, melainkan panggilan sejarah.
Kita bukan bangsa pengemis beras, kita adalah bangsa penanam kehidupan. Dari bumi Nusantara yang diberkahi ini, beras, jagung, sagu, dan rempah akan kembali menjadi bahasa universal perdamaian dan persaudaraan.
Kebangkitan pertanian Indonesia adalah kebangkitan desa, dan kebangkitan desa adalah kebangkitan bangsa. Di tengah gempuran digitalisasi dan industri, pertanian kini menemukan wajah barunya: smart farming, agrotech, dan green innovation. Anak-anak muda desa tidak lagi berbondong ke kota, mereka kini membawa kota ke desa melalui teknologi, kreativitas, dan semangat kewirausahaan.
Desa bukan lagi lambang keterbelakangan, tapi simbol keberlanjutan. Desa adalah masa depan. Dan masa depan itu kini sedang tumbuh di antara batang padi yang bergoyang diterpa angin sore.
Saat dunia dihadapkan pada krisis pangan global, Indonesia tampil bukan sebagai korban, tapi sebagai penolong. Dari tangan-tangan petani kita, dunia akan belajar tentang keteguhan, kerja keras, dan harmoni dengan alam.
Suatu hari, ketika negara-negara lain berebut pangan, mereka akan datang ke Indonesia—bukan untuk membeli, tetapi untuk belajar bagaimana sebuah bangsa yang pernah dijajah kini menjadi penopang kemanusiaan.
Dari Tanah untuk Langit
Kebangkitan pertanian Indonesia bukanlah sekadar peristiwa ekonomi, melainkan peristiwa spiritual. Ia adalah ziarah bangsa kepada akarnya sendiri.
Bangsa ini lahir dari bumi, tumbuh di sawah, hidup dari hasilnya, dan kini, dengan kebijakan yang berpihak dan kepemimpinan yang berani, kita sedang menulis kembali takdir kita di atas tanah yang sama.
Dari sawah yang pernah sunyi, kini bergema lagi lagu kebangsaan:
“Bangkitlah pertanian Indonesia! Dari tanah untuk dunia, dari petani untuk kemanusiaan.”
Dan di langit sejarah, nama Prabowo Subianto dan Andi Amran Sulaiman akan tercatat bukan hanya sebagai pemimpin, tapi sebagai penanam harapan di ladang peradaban.
Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir| Penggerak Literasi dan Kebudayaan