Oleh Muliadi Saleh
Esais Reflektif, Pemerhati Pangan dan Pertanian, Direktur Eksekutif SPASIAL 00
Dalam sejarah panjang umat manusia, sebelum ada pasar, pabrik, atau parlemen, sudah ada sawah yang bernafas di bawah langit. Sebelum tangan manusia menggenggam pena atau kunci mesin, sudah ada tangan yang menggenggam cangkul, menanam harapan pada tanah, dan menuai hidup dari keringat. Petani—profesi paling tua di dunia—adalah saksi bisu perjalanan peradaban, namun ironisnya, juga menjadi sosok yang paling sering diabaikan.
Di balik butiran nasi yang kita kunyah, ada kisah panjang tentang kesabaran, hujan yang tak menentu, dan harga yang terkadang tak adil. Dalam setiap piring makan kita, ada nama-nama yang tak pernah disebut: lelaki renta yang menunduk di tengah lumpur, perempuan yang memanggul hasil panen sambil menggendong anaknya, pemuda yang ragu untuk bertahan karena tanah tak lagi menjanjikan kehidupan. Petani adalah penjaga kehidupan, tetapi mereka yang paling sering lapar.
“Yang memberi makan dunia, justru sering lapar.” Kalimat ini bukan hanya paradoks moral, melainkan goresan sosial yang diwariskan lintas generasi. Di negeri yang subur ini—tempat hujan turun seperti rahmat dan tanah menumbuhkan apa saja—kita menyaksikan sebuah ironi: kekayaan agraris tak selalu berarti kesejahteraan petani. Di banyak desa, petani masih menjadi simbol ketertinggalan, bukan kebanggaan.
Dahulu, profesi petani adalah simbol kemuliaan. Di masa awal peradaban, mereka dipuja sebagai penjaga keseimbangan antara langit dan bumi. Dalam tradisi Jawa kuno, menanam padi bukan sekadar aktivitas ekonomi, tapi juga spiritual: ada doa di setiap benih, ada harapan di setiap batang padi. Dalam tradisi Bugis, tanah dan air dianggap memiliki roh—yang harus dihormati sebelum digarap. Bahkan dalam kitab suci, bumi disebut sebagai ibu: tempat kembali segala kehidupan dan rezeki.
Namun, ketika modernitas datang membawa logika pasar dan mesin, makna itu pelan-pelan terkikis. Revolusi industri menjauhkan manusia dari tanah, dan revolusi digital menjauhkan generasi muda dari lumpur sawah. Anak petani kini lebih bangga menjadi pekerja kota daripada penerus ladang keluarga. Padi bukan lagi simbol kesetiaan, melainkan nostalgia masa lalu yang semakin asing.
Kita membangun kota di atas tanah subur, menukar sawah dengan bangunan tembok, mengganti cangkul dengan gawai. Dalam statistik pembangunan, produktivitas pertanian dihitung, tetapi terkadang martabat dan kesejateraan petani tak tersentuh angka. Padahal, tanpa mereka, kota hanya akan menjadi etalase lapar—indah tapi rapuh.
Petani hidup dalam ketidakpastian yang tidak semestinya mereka tanggung: harga yang fluktuatif, pupuk yang belum sepenuhnya tersedia, lahan yang menyempit, dan kebijakan yang kadang tak berpihak. Dalam sistem ekonomi yang memuja efisiensi dan profit, kerja mereka dianggap lambat dan tidak “menguntungkan”. Tapi apakah kehidupan harus selalu diukur dengan untung dan rugi? Bukankah keberlanjutan bumi bergantung pada tangan-tangan yang sabar mengolah tanah?
Jika kita menengok sejarah, hampir semua peradaban besar lahir dari tanah pertanian yang makmur. Dari lembah Sungai Nil hingga dataran subur Mesopotamia, dari padi Asia Timur hingga jagung di Amerika Tengah—semuanya menunjukkan satu hal: peradaban tumbuh dari benih yang ditanam, bukan dari uang yang dicetak. Maka ketika kita kehilangan petani, sesungguhnya kita sedang kehilangan akar peradaban itu sendiri.
Hari ini, ketika krisis pangan mengintai dan perubahan iklim mempersempit ruang tumbuh, kita seharusnya kembali pada kesadaran asal: menghargai mereka yang memberi makan bumi. Bukan hanya dengan slogan, tetapi dengan kebijakan dan keadilan. Memberi harga yang layak bagi hasil tani, memberi ruang bagi regenerasi petani muda, menghidupkan kembali nilai-nilai gotong royong dalam pangan.
Sebab menjadi petani bukan hanya pekerjaan, tapi panggilan spiritual: menjaga kehidupan agar tetap tumbuh. Mereka menanam bukan hanya untuk perut, tetapi untuk peradaban. Dalam setiap butir benih, mereka menyimpan doa agar bumi tak kehilangan kasih.
Maka sudah saatnya bangsa ini menunduk hormat pada para penjaga kehidupan itu. Petani bukan sekadar bagian dari statistik pembangunan; mereka adalah denyut nadi keberlanjutan bangsa. Jika negeri ini ingin berdaulat, maka petani harus dimuliakan, bukan dikasihani.
Mari kita ubah cara pandang: dari melihat petani sebagai “yang tertinggal” menjadi “yang paling berarti.” Sebab penghargaan tertinggi bagi profesi tertua itu bukanlah upacara atau piagam, melainkan sistem yang adil—yang membuat mereka tidak lagi ‘miskin di negeri yang kaya.
Pada akhirnya, mungkin yang kita butuhkan hanyalah kesadaran sederhana: menghormati setiap butir nasi di piring kita sebagai hasil kerja manusia yang telah menukar tenaganya dengan kehidupan. Di situlah letak etika pangan sejati—ketika rasa syukur menjelma menjadi keadilan.
Dan ketika suatu hari kita menatap sawah yang masih hijau di kejauhan, semoga kita tidak lagi melihatnya sebagai pemandangan romantik, melainkan sebagai cermin nurani bangsa—tempat kita belajar bahwa kemajuan sejati bukan diukur dari tinggi gedung, melainkan dari seberapa dalam kita menghormati mereka yang menanam kehidupan.

