Oleh Muliadi Saleh
Detikapangan.com – “Makan bukan sekadar kenyang, tapi ruang bagi rasa, relasi, dan syukur. Dari dapur rumah hingga warung kopi, kita menemukan jati diri yang perlahan terlupakan.”
Makan di negeri ini bukan hanya soal mengisi perut, tetapi juga tentang merawat relasi. Kita tumbuh dalam budaya yang meyakini bahwa makan bersama mempererat silaturahmi, memperdalam rasa hormat, dan meneguhkan rasa memiliki satu sama lain.
Ritual Sosial
Dalam budaya Nusantara, makan adalah peristiwa kebersamaan. Di kampung, orang duduk melingkar di atas tikar pandan, nasi di tengah, lauk di sisi, dan sambal di ujung tangan. Tak ada piring pribadi, karena yang utama bukan kepemilikan, melainkan kebersamaan.
Kita mengenal makan basamo di Minangkabau, megibung di Bali, saprahan di Kalimantan Barat, atau manre sipulung di Sulawesi Selatan. Dalam semua itu, makan menjadi simbol gotong royong. Di situ manusia tidak hanya menyantap makanan, tetapi juga menyantap nilai: kesetaraan, persaudaraan, dan rasa syukur bersama.
Ngopi Bareng, Nasi Bungkus, dan Obrolan Warung
Warung makan, kedai kopi, dan lapak pinggir jalan adalah ruang sosial paling egaliter di Indonesia. Di sana, semua orang bisa duduk satu meja tanpa memandang jabatan. Tukang becak, dosen, pejabat, dan mahasiswa bisa meneguk kopi yang sama—disatukan oleh aroma robusta dan percakapan hangat.
“Ngopi bareng” bukan sekadar gaya hidup, tetapi warisan budaya lisan yang masih bertahan di tengah modernitas. Di warung kopi, ide besar sering lahir dari obrolan kecil. Sementara di rumah makan sederhana, kesepakatan dan keakraban sering lebih tulus daripada di ruang rapat berpendingin udara.
Warung makan adalah universitas sosial kita. Di tempat itu kita belajar menghargai perbedaan, tempat manusia menemukan dirinya di tengah hiruk pikuk. Makan dan minum di sana adalah cara paling natural untuk menjembatani jarak antar manusia.
Era Media Sosial dan Makan yang Kehilangan Makna
Namun, kini makna makan perlahan tergeser. Di era media sosial, meja makan sering berubah menjadi panggung digital. Sebelum suapan pertama, ponsel sudah diangkat; makanan difoto dari berbagai sudut, lalu diunggah dengan tagar dan emoji.
Kebersamaan kini sering bergeser dari hadir bersama menjadi posting bersama. Kita duduk satu meja, tapi masing-masing sibuk di layar sendiri. Obrolan yang dulu mengalir pelan kini tergantikan oleh notifikasi.
Tidak ada yang salah dengan berbagi momen di media sosial, tapi ketika makan hanya menjadi latar estetika dan kehilangan rasa syukur yang tulus, kita mulai kehilangan makna terdalamnya. Padahal, hakikat makan adalah jeda dari kesibukan, waktu untuk berhenti, menatap wajah sesama, dan berkata dalam hati: “Terima kasih, aku masih diberi rezeki hari ini.”
Mengembalikan Rasa dan Relasi di Meja Makan
Untuk menjadi bangsa yang berdaulat atas budaya makan, kita perlu kembali menghidupkan makna di meja makan—baik di rumah, warung, maupun restoran.
Makan bersama sekeluarga tanpa gawai. Ngopi sambil benar-benar mendengar cerita teman. Duduk di warung tanpa tergesa. Menikmati aroma, tekstur, dan percakapan yang muncul tanpa filter digital.
Di sinilah letak kekuatan budaya kita: makan bukan sekadar konsumsi, tapi komunikasi. Bukan hanya tentang gizi, tapi juga empati. Makan dengan sadar adalah bentuk penghormatan terhadap kehidupan—terhadap tanah, air, dan tangan yang memberi makan kita.
“Sepiring nasi bukan hanya rezeki, tapi juga relasi.
Di situlah rasa tumbuh, dan manusia menemukan dirinya.
Kita kehilangan makna ketika makan hanya jadi rutinitas. Sebab makan sejatinya adalah doa yang menjelma dalam tindakan, syukur yang berwujud dalam rasa.
Makan bersama, ngopi bareng, ngobrol di warung, semua adalah cara sederhana kita menjaga kemanusiaan agar tetap hangat.
Selama dapur masih mengepul dan warung masih ramai tawa, bangsa ini belum benar-benar lapar—karena ia masih punya rasa, relasi, dan ritual untuk bersyukur.

