Detikpangan.com – Dalam kuliah tamu bertajuk “Ormas, Preman, dan Negara yang Tidak Hadir Utuh” yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Politik FISIP UNHAS bersama Penerbit Marjin Kiri, Ian Douglas Wilson – penulis buku Politik Jatah Preman – mengajak kita untuk berpikir ulang tentang narasi kekerasan, ormas, dan negara. Apa yang selama ini kita pandang sebagai ketidakhadiran negara, oleh Ian justru dibalik: negara hadir, bahkan terlalu hadir.

Ian memulai dengan membongkar makna “preman”. Dulu, “preman” adalah simbol kebebasan, pernyataan atas kemandirian dari struktur yang menindas. Namun, Orde Baru memelintir makna ini. Melalui politik bahasa, “preman” dialihkan menjadi sinonim kekerasan dan kriminalitas – sebuah cara untuk membungkam gerakan intelektual yang mendamba kebebasan berpikir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam upaya ini, rezim menciptakan ormas-ormas yang secara ideologis menonjolkan nasionalisme, namun praktiknya penuh kekerasan.

Penting dicatat, Ian menyebut ormas-ormas ini bukan sebagai tanda negara absen, tetapi sebagai manifestasi nyata dari negara yang “menghadirkan” kekerasan secara terstruktur.

Negara bukan hanya membiarkan, melainkan merawat dan mendisiplinkan ormas-ormas ini agar tetap menjaga status quo. Pemikiran Michel Foucault dan Hannah Arendt terasa kuat dalam paparan ini: kekuasaan negara tidak selalu nampak dalam bentuk birokrasi atau hukum, tetapi hadir dalam mekanisme pendisiplinan dan kontrol.

Lebih jauh, Ian mengungkap bahwa kekerasan bukanlah sesuatu yang alamiah atau genetik. Kekerasan adalah konstruksi – hasil dari struktur sosial-ekonomi-politik. Kelas menengah-bawah yang terpinggirkan menemukan jalan untuk “naik kelas” melalui ormas. Ini bukan hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga simbolik – dan di sinilah Pierre Bourdieu masuk: ormas menjadi arena di mana habitus kekerasan direproduksi dan modal simbolik dikapitalisasi.

Catatan ini semakin penting ketika saya melihat bentuk baru dari premanisme. Kekerasan kini tak selalu dalam bentuk fisik. Ia bertransformasi menjadi kekerasan simbolik: kekuasaan melalui intelektualitas. Banyak organisasi – dari ormas, OKP, hingga organisasi kemahasiswaan – mulai menampilkan diri sebagai “preman intelektual”. Retorika, argumen, bahkan pengetahuan dijadikan alat untuk menundukkan pihak lain.

Ironisnya, intelektualitas yang seharusnya menjadi alat pencerahan, berubah menjadi senjata represi – namun tetap dalam ambang yang “terkontrol” agar tidak menciptakan dis-equilibrium dalam tatanan sosial. Kekerasan ini lebih halus, lebih elegan, tetapi tak kalah merusak.

Kuliah tamu ini bukan sekadar diskusi, melainkan alarm intelektual. Riset etnografis Ian Wilson menunjukkan betapa pentingnya pendekatan kritis dan triangulasi dalam memahami fenomena kekuasaan dan kekerasan. Negara, ormas, dan kekuasaan intelektual kini berdansa dalam arena yang kompleks.

Pertanyaannya, apakah kita cukup kritis untuk tidak hanya melihat kekerasan yang berdarah, tapi juga kekerasan yang bersarung pengetahuan?

Dalam dunia yang makin simbolik, menjadi intelektual tidak cukup. Kita harus menjadi intelektual yang sadar kuasa.