BELAKANGAN INI, wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke ruang publik, seiring dengan adanya surat dari Forum Purnawirawan TNI yang ditujukan kepada DPR RI dan MPR. Sebagai warga negara sekaligus akademisi, saya menilai penting untuk menyikapi isu ini secara jernih, dalam kerangka konstitusi dan semangat demokrasi.

Indonesia adalah Negara hukum yang memiliki sistem Ketatanegaraan yang jelas. Segala dinamika politik, termasuk wacana pemakzulan, harus dijalankan melalui mekanisme hukum yang telah ditetapkan dalam konstitusi. Kita tidak boleh terbawa arus opini yang berpotensi mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang kita bangun bersama sejak era reformasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemakzulan bukanlah perkara sederhana. Itu adalah proses politik yang sangat serius, memerlukan bukti pelanggaran hukum yang berat, serta melewati tahapan prosedural yang ketat di lembaga legislatif dan yudikatif. Tanpa dasar hukum yang kuat, pemakzulan justru dapat menciptakan preseden buruk bagi stabilitas negara dan martabat demokrasi.

Proses Pemilu di Indonesia menganut sistem pemilihan pasangan calon. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket oleh rakyat melalui pemilu yang sah. Oleh karena itu, posisi Wakil Presiden merupakan mandat langsung dari rakyat, dan tidak dapat dipisahkan dari mekanisme pemilihan yang telah berlangsung secara konstitusional.

Dinamika politik memang bagian dari demokrasi. Namun, demokrasi yang sehat menuntut kedewasaan dalam menyampaikan kritik dan aspirasi. Jangan sampai kita terjebak pada narasi-narasi politis yang tidak berdiri di atas pijakan hukum yang kokoh.

Sebagai bangsa besar, mari kita jaga marwah institusi negara dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip ketatanegaraan. Perbedaan pendapat harus dihormati, namun tetap dalam koridor hukum dan etika demokrasi. (*)