Detikpangan.com, Jakarta — Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM( Prof. Dr. Taruna Ikrar menegaskan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi negara dengan standar pengawasan obat yang diakui dunia. Salah satunya melalui pencapaian status WHO-Listed Authority (WLA), standar tertinggi bagi lembaga pengawas internasional.

“Jika kita bisa meraih WLA seperti negara lain yang telah diakui WHO, artinya Indonesia mampu berdiri sejajar di tingkat global,” ujar Prof. Taruna.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Indonesia tengah menapaki jalan besar menuju pengakuan dunia dalam industri obat tradisional. BPOM bersama World Health Organization (WHO) menggelar Capacity Building and Workshop on Quality Standardization of Extracts and Quality Control Assessment in Traditional Medicine Products, pada 19–21 Agustus 2025.

Kegiatan yang berlangsung secara hybrid ini diikuti 1.096 peserta dari kalangan regulator, akademisi, peneliti, asosiasi profesi, hingga pelaku industri obat bahan alam (OBA). Turut hadir pakar dari WHO Regional Western Pacific (WPRO) Eunkyung Han, serta delegasi negara anggota WHO dari China dan India.

Taruna menekankan bahwa setiap rupiah dari anggaran negara yang digunakan BPOM harus berdampak nyata bagi masyarakat. Transparansi, kapabilitas regulatori, serta sistem registrasi yang kredibel menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik.

“Rakyat berharap besar pada lembaga ini. Karena itu, masyarakat harus tahu ke mana melapor dan yakin bahwa pengawasan dilakukan dengan standar tertinggi,” lanjutnya.

Workshop ini tidak hanya diisi dengan diskusi panel, tetapi juga praktik lapangan ke fasilitas ekstraksi PT Phytochemindo Reksa dan PT Indofarma Tbk. Peserta diajak memahami proses implementasi sistem pengembangan obat bahan alam di industri.

Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM menegaskan bahwa standardisasi bahan baku menjadi kunci untuk mengurangi ketergantungan impor. Indonesia memiliki biodiversitas luar biasa, namun tantangan masih terkait keamanan dan konsistensi mutu.

“Setiap klaim khasiat harus didukung data ilmiah, seperti praktik di negara maju. Karena itu, BPOM mendorong ekosistem regulasi yang berbasis riset, inovasi, dan harmonisasi standar,” jelasnya.

WHO melalui Traditional Medicine Strategy 2025–2034 juga menargetkan integrasi pengobatan tradisional dalam sistem kesehatan nasional secara aman, efektif, dan berbasis bukti ilmiah.

Para narasumber dari UGM, ITB, dan BRIN menyoroti pentingnya penerapan teknologi mutakhir, seperti fermentasi, iradiasi, hingga nanoteknologi dalam pengembangan obat tradisional.

Diskusi juga menghadirkan praktik baik dari China dan India, yang sukses mengintegrasikan obat tradisional dengan sistem kesehatan modern.

Prof. Taruna menegaskan, kolaborasi BPOM dengan WHO dan pemangku kepentingan adalah langkah strategis dalam memperkuat posisi Indonesia di kancah global.

“Kemandirian farmasi adalah bagian dari ketahanan nasional. BPOM akan terus berjuang menumbuhkan industri obat tradisional yang berdaya saing global, dengan menjunjung tinggi standar keamanan, khasiat, dan mutu,” pungkasnya. (*)